Bima, Tamansiswabima.ac.id — Di dunia kampus yang kerap gemerlap oleh sorotan prestasi besar, kisah Rahmawati berjalan dalam senyap. Tak ada medali emas atau piala juara di rak kamarnya, tapi ada yang jauh lebih berarti: konsistensi, ketekunan, dan kesadaran akan tujuan hidup yang tertanam kuat sejak semester pertama.
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) STKIP Taman Siswa Bima angkatan 2021 ini menamatkan studi dalam waktu 3,5 tahun. Prestasi ini mungkin terdengar biasa di permukaan, namun perjalanan yang ditempuhnya menyimpan pelajaran penting: bahwa kedisiplinan dalam kesederhanaan mampu menjadi fondasi keberhasilan yang kokoh.
Rahmawati bukan tipe mahasiswa yang menonjol di panggung organisasi atau sering tampil di podium kompetisi. Tapi ia tahu benar apa yang ia inginkan sejak awal. “Saya mulai memikirkan skripsi sejak semester lima,” ujarnya pelan, dengan bahasa tubuh yang tenang dan penuh keyakinan.
Di tangannya, sebuah buku catatan kecil kerap menemani. Di sanalah tertulis agenda mingguan, pembagian waktu antara kuliah, organisasi, pekerjaan paruh waktu, hingga waktu untuk keluarga. Bagi Rahma, manajemen waktu bukan sekadar teori dari modul kuliah, tapi alat untuk menjaga kewarasan dan arah langkah.
Selain aktif di kelas, Rahmawati juga mengikuti Program Kampus Mengajar Angkatan 6 di SDN 15 Ntobo, Kota Bima. Di sana, ia menguji langsung apa yang selama ini dipelajarinya di bangku kuliah. Ia belajar bahwa menjadi guru bukan hanya soal metode, tetapi juga tentang empati, komunikasi, dan kesiapan mental.
“Berhadapan langsung dengan siswa di kelas membuat saya sadar, pendidikan itu bukan hanya transfer ilmu, tapi juga soal membangun relasi manusia,” ungkapnya.
Rahmawati menyebut keluarga sebagai fondasi semangatnya. Orang tua yang sederhana menjadi alasan utama ia tidak menyerah. Dukungan dosen pembimbing juga menjadi titik terang dalam proses akademiknya, terutama ketika mengerjakan skripsi.
“Saya terbantu sekali dengan diskusi-diskusi kecil bersama dosen. Dari situ saya belajar berpikir kritis,” tambahnya.
Teman-teman seangkatan pun menjadi ruang berbagi tekanan dan saling menyemangati. “Kami bukan saling bersaing, tapi saling menguatkan.”
Lulus bukan berarti selesai. Bagi Rahmawati, ini adalah awal dari babak baru. Ia sedang menjajaki peluang untuk melanjutkan studi S2 dengan beasiswa, namun tidak menutup kemungkinan langsung terjun ke dunia pendidikan dasar. “Saya ingin kembali ke daerah dan mengajar. Itu cara saya membalas perjuangan orang tua.”
Menutup kisahnya, Rahmawati menitipkan pesan sederhana namun bermakna kepada mahasiswa lainnya.
“Buat rencana studi sejak awal, jangan menunda-nunda tugas, dan manfaatkan waktu kuliah sebaik mungkin. Baik untuk belajar, berorganisasi, maupun mengenal dunia kerja.”
Kisah Rahmawati mungkin tak ditulis dengan tinta medali, tapi dengan goresan nyata dari kerja keras yang sunyi. Ia adalah bukti bahwa dalam dunia yang serba cepat dan penuh sorotan, masih ada ruang untuk keberhasilan yang dibangun dari langkah kecil yang konsisten, sadar arah, dan penuh makna. (Tim)