Bima, tamansiswabima.ac.id – Setiap langkah kaki Sunardin di lintasan lari adalah gema dari masa kecilnya di Desa Pandai, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima. Bagi sebagian orang, lari hanyalah olahraga. Namun bagi Sunardin, mahasiswa STKIP Taman Siswa Bima, lari adalah jalan hidup, cara ia mencintai, dan warisan doa dari seorang ibu yang kini telah tiada.
“Saya tidak pernah ikut lomba tanpa menelepon ibu dulu,” tuturnya, menatap kosong ke kejauhan seolah menelusuri kembali jejak-jejak yang telah ia lalui. Sejak 2018, telepon kepada sang ibu menjadi ritual wajib sebelum setiap perlombaan. Namun, pada Oktober 2024, Sunardin harus menerima kenyataan pahit: ibunya pergi untuk selamanya. Saat itu ia sedang berada di Jakarta, dan kabar duka itu membuatnya segera pulang dengan hati yang hampa.
Namun, kehilangan tak memadamkan semangatnya. Justru sebaliknya, menjadi bara yang menguatkan tekadnya untuk terus berlari, bukan hanya untuk menang, tetapi untuk menjaga warisan semangat yang ditinggalkan ibunya.
Kisah Sunardin bermula dari lapangan tanah di sekolahnya, SMKN 1 Woha. Siapa sangka, lari-lari kecilnya di kampung kini membawanya ke podium-podium bergengsi nasional. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani, Kesehatan, dan Rekreasi (PJKR) STKIP Taman Siswa Bima ini telah menyumbangkan dua medali emas dari Kejuaraan Investasi Mahasiswa Nasional dan satu medali perunggu di Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional (Pomnas).
“Saya bangga bisa bawa nama Tamsis ke tingkat nasional,” ucapnya. Bagi Sunardin, kampusnya bukan sekadar tempat kuliah. Tamsis adalah rumah kedua yang memberinya arah dan dukungan tanpa henti, baik sebagai mahasiswa maupun sebagai atlet.
Menjalani peran ganda sebagai mahasiswa dan atlet bukan perkara mudah. Hari-harinya dimulai sebelum matahari terbit dengan sesi latihan pagi. Siang hari diisi kuliah, dan sore kembali ke lintasan. "Kadang ada kegiatan yang harus saya lepas karena tidak mungkin kerjakan semua," katanya.
Namun ia tidak pernah mengeluh. Ia tahu, untuk menjadi juara, yang pertama harus dikalahkan adalah diri sendiri. “Tiada musuh selain diri kita sendiri,” ucapnya tegas, seolah mengingatkan dirinya sendiri dan siapa pun yang sedang mengejar mimpi.
Tahun ini, Sunardin resmi menyelesaikan kuliahnya sebagai salah satu wisudawan terbaik. Baginya, wisuda bukan hanya tentang gelar, tapi tentang pembuktian bahwa disiplin dan pengorbanan bisa membawa seseorang melampaui keterbatasan.
Kini, ia tengah bersiap menatap PON NTB 2028. Bukan lagi sekadar peserta, tapi tuan rumah yang membawa harapan ribuan mata. Di setiap langkahnya, Sunardin akan tetap membawa nama ibunya—sebagai semangat, sebagai doa, sebagai alasan mengapa ia terus berlari. (Tim)